Category: dakwah kontemporer


 

Oleh : Luthfie Abdullah Ismail

Ketika kita membicarakan hukum Shalat Jum`at bagi musafir, maka dapat dipastikan pembicaraan kita akan berkisar pada 2 pendapat yang kontraversial yaitu pendapat yang mewajibkan dan pendapat yang tidak menganggap wajib.

•Pendapat Pertama beralasan bahwa semua hadits yang mengecualikan musafir dari kewajiban Jum`at adalah lemah.
•Pendapat Kedua mengatakan : Meskipun hadits-hadits yang secara khusus mengecualikan musafir dari kewajiban Jum`at adalah lemah, tapi riwayat Hajjinya Rasulullah saw bisa dijadikan dasar bahwa dalam safar tidak ada Jum`at, karena pada saat Wuquf di Arafah Rasulullah saw menjama` shalat Zhuhur dengan Ashar, padahal hari itu adalah hari Jum`at.

Kalau kita memperhatikan alasan masing-masing golongan di atas, maka dapat dikatakan kedua golongan tersebut sudah sepakat bahwa hadits-hadits khusus yang mengecualikan musafir dari kewajiban Jum`at adalah lemah. Mas`alah kita sekarang adalah memastikan apakah benar peristiwa wuquf tersebut jatuh pada hari Jum`at atau lainnya ?

Untuk itu kita perlu menampilkan hadits-hadits yang terkait dengan masalah di atas antara lain :

(1) – عن طارق بن شهاب قال : جاء رجل من اليهود إلى عمر فقال يا أمير المؤمنين آية في كتابكم تقرؤونها لو علينا نزلت معشر اليهود لاتخذنا ذلك اليوم عيدا قال وأي آية ؟ قال { اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الإسلام دينا } فقال عمر إني لأعلم اليوم الذي نزلت فيه والمكان الذي نزلت فيه نزلت على رسول الله صلى الله عليه وسلم بعرفات في يوم جمعة – صحيح مسلم [ جزء 4 – صفحة 2312 ]

(2) – حدثنا ابن أبي عمر حدثنا سفيان عن مسعر وغيره عن قيس بن مسلم عن طارق بن شهاب قال قال رجل من اليهود لعمر بن الخطاب : يا أمير المؤمنين لو علينا أنزلت هذه الآية { اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الإسلام دينا } لا تخذنا ذلك اليوم عيدا فقال له عمر بن الخطاب إني أعلم أي يوم أنزلت هذه الآية أنزلت يوم عرفة في يوم الجمعة – سنن الترمذي [ جزء 5 – صفحة 250 ]

Kedua hadits di atas sebenarnya tidak terkait langsung dengan mas`alah yang kita bahas, tapi dikait-kaitkan supaya bisa dijadikan dasar untuk menafikan kewajiban Jum`at bagi musafir. Jadi intinya kedua hadits itu menerangkan bahwa ayat 4 surah al-Maidah diturunkan ketika Rasulullah saw wuquf dan wuquf saat itu terjadi pada hari Jum`at, sedangkan pada riwayat lain yang terpisah diterangkan bahwa pada hari itu Rasulullah saw menjama` shalat Zhuhur dengan Ashar atau tegasnya tidak shalat Jum`at.

Tentang kata-kata “fi yaumi Jumu`atin” pada hadits yang pertama ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud adalah “hari berkumpul” – bukan hari Jum`at, alasannya karena Rasulullah saw dan sahabat-sahabatnya berangkat mengerjalan Hajji Wada` pada tanggal 25 Dzul Qa`dah, jatuh pada hari Sabtu , sedangkan bulan Dzul Qa`dah waktu itu berusia 30 hari. Kalau dihitung mulai tgl 25 Dzul Qa`dah hingga 9 Dzul Hijjah, maka wuquf tahun itu jatuh pada hari Sabtu.

Golongan ini menambahkan bahwa riwayat yang shah tentang turunnya ayat ini adalah riwayat-riwayat yang tidak menggunakan ” al ” pada kata “jumu`at “, sedangkan yang me makai (alif lam) adalah lemah .

Pendapat ini ternyata tidak benar, karena riwayat Tirmidzi yang penulis sebutkan di atas adalah shahih . Selain Tirmidzi hadits semakna juga diriwayatkan oleh imam Ahmad dengan sanad yang shahih .

Hadits riwayat Tirmidzi dan Ahmad ini memakai lafazh “fi yaumil Jumu`ati ” yang mau tidak mau mesti di artikan “pada hari Jum`at” – bukan hari berkumpul – sebagaimana hadits yang pertama.

Oleh karena hadits riwayat Tirmidzi dan Ahmad ini sudah jelas shahih, maka penulis meyakini bahwa wuqufnya Rasulullah saw pada saat itu adalah pada hari Jum`at bukan hari Sabtu. Selanjutnya dari hadits ini, penulis kemudian mengistinbath bahwa ketika safar seseorang boleh tidak melaksanakan shalat Jum`at, sebagaimana yang dilakukan Rasulullah saw ketika wuquf.

Kesimpulan
Musafir boleh tidak melaksanakan shalat Jum`at.

. Makalah ini disampaikan pada sidang Dewan Hisbah di Banjaran hari Sabtu tgl 21 April 2007
. Hadits semakna juga diriwayatkan oleh Bukhari, Ahmad, Muslim, Nasaa`i dan Thabrani
dalam Mu`jamul Kabir 12:184
. Lihat Zaadul Ma`aad 1:97 ; Muhammad Rasulullah 413 serta Hayat Muhammad hal 471
. Tafsir ath-Thabari 4:47; Risalah Jum`at A Hassan hal 121; Kumpulan Risalah A Hassan hal 186
. Lihat Sunan Tirmidzi, Kitab Tafsir Qur`an, bab Surah al-Maidah hadits no 2969
. Lihat Musnad Ahmad hadits no 183 dan 261

DEWAN HISBAH PERSATUAN ISLAM
Pada Sidang Dewan Hisbah II Pasca Muktamar XIII
Di PC Persis Banjaran, 03 Rabi’uts Tsani 1428 H
21 April 2007 M

Tentang:
“HUKUM JUMAT BAGI MUSAFIR”
بسم الله الرحمن الرحيم
Dewan Hisbah Persatuan Islam setelah:
MENGINGAT:
1. Firman Allah tentang wajib Jumat

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِي لِلصَّلاَةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Q.s. Al-Jumu’ah:9
2. Hadis Rasulullah saw. tentang golongan yang dikecualikan dari kewajiban
Jumat :

عَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ عَنِ النَّبِيِّ قَالَ الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إِلاَّ أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِيٌّ أَوْ مَرِيضٌ

Dari Thariq bin Syihab, dari Nabi saw. saw. beliau bersabda, “Jum’at itu adalah hak yang wajib bagi setiap muslim secara berjama’ah kecuali empat golongan; hamba sahaya, perempuan, anak-anak, dan yang sakit.” H.r. Abu Daud, Sunan Abu Daud, I:347
3. Hadis yang menerangkan bahwa pada saat wukuf yang jatuh pada hari Jumat di Arafah Rasulullah saw. salat zhuhur dijama dengan ashar

فَأَجَازَ حَتَّى أَتَى عَرَفَةَ فَوَجَدَ الْقُبَّةَ قَدْ ضُرِبَتْ لَهُ بِنَمِرَةَ فَنَزَلَ بِهَا حَتَّى إِذَا زَاغَتِ الشَّمْسُ أَمَرَ بِالْقَصْوَاءِ فَرُحِلَتْ لَهُ فَأَتَى بَطْنَ الْوَادِي فَخَطَبَ النَّاسَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْعَصْرَ وَلَمْ يُصَلِّ بَيْنَهُمَا شَيْئًا…

… Selanjutnya beliau berangkat hingga sampai di Arafah, maka beliau menemukan tenda yang telah dibangun untuknya di Namirah, kemudian beliau singgah di Namirah, sehingga tatkala tergelincir matahari, beliau menyuruh dibawakan Qaswa (unta beliau), kemudian unta itu diserahkan padanya. Selanjutnya beliau sampai di lembah, terus beliau memberi hutbah pada manusia, kemudian dikumandangkan adzan selanjutnya iqamat, terus beliau salat Dzuhur, kemudian iqamat, dan terus salat Ashar, serta beliau tidak salat apapun di antara kedua salat itu. H.r. Muslim, Shahih Muslim, II:886
4. Hadis tentang Ibnu Umar yang melaksanakan Jumat ketika safar sebagai berikut:

عَنْ عَطَاءٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ كَانَ إِذَا كَانَ بِمَكَّةَ فَصَلَّى الْجُمُعَةَ تَقَدَّمَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ تَقَدَّمَ فَصَلَّى أَرْبَعًا وَإِذَا كَانَ بِالْمَدِينَةِ صَلَّى الْجُمُعَةَ ثُمَّ رَجَعَ إِلَى بَيْتِهِ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَلَمْ يُصَلِّ فِي الْمَسْجِدِ فَقِيلَ لَهُ فَقَالَ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْعَلُ ذَلِكَ

Dari Atha, dari Ibnu Umar, ia berkata, “Beliau (Ibnu Umar) berada di Mekah, lalu salat Jumat. (setelah selesai) ia melangkah ke depan untuk salat sunat dua rakaat, kemudian melangkah ke depan untuk salat sunat empat rakaat. Dan bila berada di Madinah ia salat Jumat, lalu kembali ke rumahnya, maka salat dua rakaat dan tidak salat di masjid. Maka ditanyakan kepadanya, lalu ia berkata, “Rasulullah saw. melakukan hal itu (salat sunat bada Jumat di rumahnya). H.r. Abu Daud, Sunan Abu Daud, I:363
5. Hadis tentang Ibnu Umar yang tidak melaksanakan Jumat ketika safar sebagai berikut:

عَنْ نَافِعٍ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ذُكِرَ لَهُ أَنَّ سَعِيدَ بْنَ زَيْدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ نُفَيْلٍ وَكَانَ بَدْرِيًّا مَرِضَ فِي يَوْمِ جُمُعَةٍ فَرَكِبَ إِلَيْهِ بَعْدَ أَنْ تَعَالَى النَّهَارُ وَاقْتَرَبَتْ الْجُمُعَةُ وَتَرَكَ الْجُمُعَةَ

Dari Nafi, sesungguhnya Ibnu Umar diterangkan kepada beliau bahwa Sa’id bin Zaid bin Amr bin Nufel, dan ia orang Badar, sakit pada hari Jumat Lalu Ibnu Umar berangkat untuk menengoknya menjelang siang, dan telah dekat waktu Jumat, dan Ibnu Umar tidak melaksanakan Jumat . H.r. Al-Bukhari, Fathul Bari, VII:360, No. 3.991
MENDENGAR:
1.Sambutan dan pengarahan dari Ketua Dewan Hisbah KH.Usman Shalehudin
2.Sambutan dan pengantar dari Ketua Umum PP Persis K.H. Drs. Shiddiq Amien, MBA
3.Makalah dan pembahasan yang disampaikan oleh: K.H. Luthfi Abdullah Ismail, Lc
4.Pembahasan dan penilaian dari anggota Dewan Hisbah terhadap masalah tersebut di atas

MENIMBANG:

1.Keputusan Dewan Hisbah tahun 2001 yang beristinbath bahwa “Musafir tidak dikecualikan dari kewajiban Jumat”
2.Hadis-hadis tentang empat golongan yang dikecualikan dari wajib Jumat adalah sahih.
3.Hadis-hadis tentang musafir yang dikecualikan dari wajib Jum’at semuanya daif.
4.Wukuf Nabi di Arafah terjadi pada hari Jumat, 9 Dzulhijjah tahun 10 H. dan Nabi melaksanakan salat zhuhur dan ashar dijama dan diqasar.
5.Ada pemahaman wukuf Nabi di Arafah terjadi pada hari Sabtu, 10 Dzulhijjah tahun 10 H. Dengan demikian, pada hari Jumat Nabi berada di Mina dan beliau melaksanakan salat zhuhur dan ashar bukan salat Jumat.
6.Ada pemahaman bahwa musafir tidak wajib Jumat karena tidak ditemukan keterangan Nabi saw. salat Jumat waktu shafar termasuk waktu pelaksanaan haji.
7.Tidak ditemukan satu keteranganpun selama Nabi melakukan safar haji atau lainnya melakukan Jum’at.
8.Ditemukan keterangan bahwa Ibnu Umar salat Jumat ketika Safar di Mekah.
9.Ditemukan keterangan bahwa Ibnu Umar ketika menjenguk yang sakit di Badar tidak melaksanakan Jumat
10.Orang yang sedang melaksanakan ibadah haji adalah musafir.
11.Perlu dipertegas kembali tentang hukum Jumat bagi musafir.
Dengan demikian Dewan Hisbah Persatuan Islam

MENGISTINBAT:

1.Merevisi keputusan Dewan Hisbah tahun 2001 yang menetapkan bahwa “Musafir tidak dikecualikan dari kewajiban Jumat”
2.Musafir boleh tidak melaksanakan Jumat
3.Musafir yang tidak melaksanakan Jumat wajib salat zuhur
Demikian keputusan Dewan Hisbah mengenai masalah tersebut dengan makalah terlampir.
الله يأخذ بأيدينا الى ما فيه خير للإسلام و المسلمين
Bandung, 03 R. Tsani 1428 H
21 April 2007 M

Ketua Sekretaris
K.H. Usman Shalehuddin K.H. Wawan Shofwan Sh
NIAT: 05336 NIAT: 30400

Meskipun memperingati hari lahir atau ulang tahun merupakan masalah keduniaan yang asalnya boleh dikerjakan, tapi tradisi ini bermula dari non Muslim dan di dalam nya ada nilai nilai ritual sehingga sebagai Muslim kita tidak boleh ikut ikutan merayakannya. Orang Islam yang memperingati hari lahirnya dengan mengadakan tasyakuran, makan-makan, mengirim ucapan selamat ulang tahun berarti telah tasyabuh (menyerupai) dengan non Muslim, padahal dalam semua hal yang terkait tradisi dan peribadatan kita dilarang tasyabuh .

Sehubungan dengan hal di atas Nabi saw bersabda :

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍِ فَهُوَ مِنْهُمْ ( رواه ابوداود وابن حبان )

Artinya : Barangsiapa tasyabuh (menyerupai) suatu kaum (kafir), maka ia termasuk golongan mereka (HSR Abu Dawud dan Ibnu Hibban)

 

Tasyabuh yang dimaksud pengertiannya mencakup :

a. segi ibadat atau upacara keagamaan

b. segi pergaulan, baik di dalam atau di luar rumah

 

Jadi dengan hadits di atas dapat kita fahami bahwa ikut ikutan merayakan ulang tahun dengan cara apa saja hukumnya haram.

 

Pada hadits lain dikatakan :

مَنْ رَضِيَ عَمَلَ قَوْمٍ كَانَ مِنْهُمْ  ( رواه ابو يعلى )

Artinya : Barangsiapa ridha amalan satu kaum (kafir) adalah ia dari golongan mereka (HR Abu Ya`la)

 

Yang dimaksud ridha antara lain mendiamkan orang lain berbuat dan menerima makanan yang sengaja dibuat untuk hal tersebut meskipun dia sendiri tidak melakukannya.

 Kesimpulan

Memperingati hari kelahiran (ulang tahun) hukumnya haram karena tasyabuh dengan tradisi non Muslim